PRAMOEDYA ANANTA TOER



Sejumlah aktivis dan penulis muda, bersama-sama dengan keluarganya, hadir di pemakaman. Banyak diantaranya yang menangis, menitikkan air mata. Maka mereka meluapkan emosinya dengan menyanyikan lagu-lagu perjuangan untuk melepas laki-laki yang baru saja disemayamkan untuk selamanya: Pramoedya Ananta Toer. Mereka mengumandangkan lagu Internasionale dan lagu-lagu yang sering dikumandangkan semasa pergerakan melawan kediktatoran: Darah Juang.  



Pramoedya meninggal pagi itu setelah terserang penyakit seminggu dan kesehatannya menurun drastis. Ia telah diinapkan di Rumah Sakit Umum daerah Jakarta (RSCM) dan kemudian dipindahkan ke ICU. Pada akhirnya ia minta dipulangkan ke rumah, untuk istirahat di rumah keluarga di daerah Utan Kayu, Jakarta Timur. Pada hari ketiga di rumah, setelah melepaskan tabung dan peralatan yang ada ia meminta rokok sigaret kesayangannya. Ia meninggal pukul 09.15 pagi itu. Tradisi Indonesia menyaratkan pemakaman untuk segera dilakukan secepat mungkin, hingga ia dimakamkan di pemakaman umum siang itu juga. Bagi mereka yang menerima kabar lewat SMS dan punya waktu segera melayat. 
Di Indonesia, telah ada berbagai rencana dikalangan aktifis untuk memperingati laki-laki ini. Di sini, kami yang ada di Australia, majalah INSIDE INDONESIA sedang merencanakan mengeluarkan edisi khusus seputar Pramoedya. 
Kebanyakan orang Australia awal mula mengenal Pramoedya lewat novelnya Bumi Manusia yang aku terjemahkan pada tahun 1980. Hingga saat ini, masih banyak orang megirimkan surat menyatakan betapa mereka sangat menikmati novel ini atau bagaimana hidup mereka bisa berubah karenanya. Mereka itulah yang tertarik dan terus membaca sequelnya: Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Bumi Manusia saat ini tengah mengalami cetak ulang yang kelimabelas di Amerika. Novel-novelmya telah disadur ke dalam berbagai bahasa sastra dunia di universitas Amerika. 
Di Indonesia sendiri, semua buku Pramoedya secara formal masih dilarang, meskipun negara kelihatannya membutakan diri terhadap kenyataan bahwa buku-bukunya masih dipublikasikan dan dengan mudah akan kita dapatkan di toko-toko buku besar. Dan tentu saja buku-buku semacam itu tidak diajarkan dalam kurikulum wacana, tentu saja dalam sistem sekolah negeri. 
Pramoedya berusia 81 tahun ketika ia meninggal. Ia merupakan seorang sastrawan dan tokoh politik yang muncul dalam politik dan budaya Indonesia lebih dari 40 tahun belakangan ini. Semasa muda ia memanggul senjata melawan kolonialis Belanda, pernah ditangkap dan dipenjara selama dua tahun. Dalam masa inilah ia menulis beberapa cerita pendeknya yang mula awal dikenal dengan berlatar pertengahan sejarah perlawanan revolusi. Ketika perlawanan bersenjata dihentikan pada tahun 1949 dan Belanda mengakui kemerdekaan indonesia, ia menjadi salah satu penulis yang sangat produktif. Ia disadarkan oleh kenyataan penyakit kemanusiaan bahwa orang-orang menderita sebagai akibat dari keterlibatan mereka dalam revolusi, baik secara langsung maupun tidak.
Orientasinya semakin berkembang jauh manakala negeri melangkah pada akhir dekade pertama kemerdekaan. Buku-bukunya mulai semakin banyak mengangkat realitas dari kegagalan perubahan sosial, mengenai penyakit kemanusiaan yang berasal dari kubangan korupsi dan ketidakadilan meskipun negara telah memperoleh kemerdekaan. Bukunya dalam koleksi Cerita Dari Jakarta menyuarakan ketidakpuasan dan kemanusiaan yang merosot. Dari akhir tahun 1950-an, Pramoedya memulai penjelajahan baru. Kenapa ? Mengapa kemerdekaan politik tidak memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi orang-orang yang telah memberikan hidup mereka pada revolusi. Pramoedya bergabung dengan jutaan orang lainnya yang siap menyuarakan: Revolusi belum selesai ! Ia memposisikan dukungan politiknya pada Soekarno, yang ia dukung hingga sekarang, yang memimpin dibelakang layar mobilisasi massa untuk menyerukan tuntutan ini. Akhirnya puluhan juta orang bergabung dibawah bendera ini, bergabung dengan PKI, Partai Nasionalis atau partai-partai lain yang lebih kecil atau bergabung dengan satu dari berbagai organisasi massa yang terus menyerukan tuntutan. Pramoedya bergabung dengan LEKRA, yang kemudian memiliki ribuan anggota dan juga penerbitan Kiri Independen Bintang Timur
Bukan hanya dengan satu cara Pramoedya memberikan dukungan terhadap gerakan ini. Kegiatan utamanya adalah dalam bidang budaya, terutama ia membenamkan dirinya dalam kerja-kerja penggalian sejarah, kerja untuk menemukan asal muasal persoalan budaya Indonesia: tiadanya karakter elite yang sangat teguh; yang hanya mementingkan dirinya sendiri; sebagai penjilat dihadapan penguasa tetapi sekaligus juga sebagai sumber dinamisme budaya Indonesia baru, sumber energi revolusi yang meletus pada tahun 1960an ketika segala jenis seni dan budaya mulai berkembang. Darimana itu semua datangnya ? 
Persoalan lain yang mempengaruhi Pramoedya, tulisan Maxim Gorky Manusia Harus Tahu Sejarah Mereka menginspirasi dia. Dari akhir tahun 1950an ia menjadi sejarawan yang pertama kali sepenuhnya belajar sendiri. Tak ada sumber sejarah yang bisa dijadikan rujukan: dokumen pemerintah, harian, apa yang bisa diharapkan diketahui oleh orang tentang tokohnya jika tak ada sumber, koran, cerita detektif. Bahkan Pramoedya merupakan sejarawan Indonesia yang pertamakali memanfaatkan tape rekorder untuk menyusun sejarah oral, membawa tape rekorder –yang dalam perkembangannya tape tersebut menjadi peralatan yang janggal –yang didapat dari rekanan bisnis kecilnya. 
Ia kemudian menjadi penulis produktif dalam koran Bintang Timur, menulis ratusan tulisan mengenai sejarah dan politik. Pada tahun 1960 ia ditahan oleh Penguasa Hukum Darurat Militer akibat sejumlah tulisannya yang menyerang kebijakan pemerintah memaksa pengusaha kecil Cina untuk tidak tinggal di kota-kota kecil dan desa-desa. Kebijakan itu diikuti dengan sejumlah black-propaganda Anti-China dan memperoleh dukungan baik oleh pengusaha besar Non-China maupun Tentara, yang menginginkan untuk menghancurkan kerjasama antara Indonesia dan RRC. Pramoedya ditahan setahun tanpa pengadilan. 
Setelah dibebaskan ia melanjutkan kerja-kerja sejarahwannya. Ia lebih banyak menggali periode pergantian abad 20, sebuah periode kolonial yang banyak mempengaruhi masyarakat, dimana bahasa Melayu mulai dipakai sebagai tulisan dan membuat koran populer. Orang China, Indo dan masyarakat asli lainnya kepulauan itu mulai menggunakannya untuk menuturkan pada dunia tentang pangalamannya, mengubah bahasa  Melayu dari bahsa pasar, tradisi dan feudalisme menjadi bahasa kehidupan modern. Ia menulis karakter Raden Mas Tirto Adhisuryo, seorang figur yang tak pernah ditulis oleh sejarawan Belanda dan Barat lainnya dan sejarwan Indonesia yang dididik dalam sudut pandang Belanda. Jurnalis pribumi pertama yang menerbitkan surat kabarnya sendiri, menerbitkan selebaran, yang kemudian sering mendapat serangan seputar korupsi dan pelanggaran hukum dalam sistem kolonial Belanda. Serangan-serangan itu dimuat dalam majalah dibawah tulisan: “Voice of the governed”. Adhisuryo juga membantu menerbitkan majalah pertama bagi perempuan. Tak terhitung berapa kali ia dihadapkan pada pengadilan dan dibuang. 
Pramoedya juga memecahkan pandangan masyarakat bahwa ia merupakan tokoh yang melihat masyarakat terbagi kedalam mereka yang hidupnya tergantung pada gaji Belanda dan mereka ‘free men” yang memperoleh penghidupannya secara independen. Orang-orang “independen” inilah konstituen yang coba ia kumpulkan ketika ia membantu mendirikan SDI. Bagi dia “dagang” artinya sederhana yaitu mencari penghasilan untuk hidup independen. Pendirian organisasi ini dapat dikatakan sebagai awal revolusi nasional Indonesia. Pencapaian terbesar anggotanya sekitar dua juta orang diseluruh kepulauan. Lebih jauh ini merupakan awal PKI. 
Sumbangan khusus Pram dalam membantu menyelesaikan revolusi ternterupsi pada Oktober 1965 ketika ia ditahan bersamaan dengan ratusan hingga ribuan tahanan lainnya. Sayap kanan Militer, dibawah komando Jenderal Soeharto, mengambilalih kekuasaan, mematahkan usaha kudeta yang dilakukan oleh perwira sayap kiri untuk menguasai Militer. Artinya, revolusi Indonesia itu sendiri terinterupsi. Lebih dari sejuta buruh, petani, dan aktifis terbunuh. Puluhan ribu dipenjarakan selama 1-2 tahun dan 20.000 lainnya termasuk Pram dipenjarakan selama 14 tahun –tanpa tuduhan dan pengadilan. 
14.000 tahanan dikirim ke wilayah yang jarang penghuninya dan pulau gersang di Indonesia timur dimana mereka dipaksa untuk membangun barak mereka sendiri, membabat tanah liar dengan tangan mereka sendiri dan mulai menanam pertanian mereka. Pada masa-masa awal mereka datang, banyak diantaranya yang meninggal. Pada tahun-tahun demoralisasi inilah Pramoedya mulai menuangkan ingatannya lewat karyanya untuk menceritakan sejarah gadis Jawa berusia 14 tahun, Sanikem, yang dijual oleh ayahnya yang pekerja pada pemilik pertanian Belanda sebagai seorang gundik dan bagaimana gadis muda ini mengubah dirinya menjadi seorang perempuan yang kuat dan berkapasitas, Nyai Ontosoroh, jauh lebih kuat daripada tuannya dan bagaimana ia mendidik salah satu generasi pemula revolusioneri Indonesia. Sejara itu menginspirasikan tahanan dan membantu merestorasi moral. 
Baru kemudian ketika ia mencoba memperoleh mesin ketik dan diberikesempatan untuk menulis, Pramoedya menyelesaikan delapan novel dan sebuah drama serta sejumlah tulisan ketika di Pulau Buru. Ketika dibebaskan pada tahun 1979 tulisannya tidak boleh diterbitkan. Aktifias-aktifitas tertentu dilarang dilakukan oleh tahanan-tahanan politik awal. Tetapi ia, dan dua tahanan lainnya, Joesoef Isak dan Hasyim Rachman, mengabaikan diktaktor, Soeharto, dan mulai menerbitkan novel penjara Pramoedya, dimulai dari Bumi Manusia, berdasarkan pada cerita Sanikem dan Nyai Ontosoroh. Kemudian diikuti dengan karya sejarah terbesar lainnya, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Semua buku itu tersedia dalam edisis buku Penguin. Kemudian sampai pada novelnya berlatarbelakang periode sebelum keempat karya tersebut, Arok Dedes, sebuah cerita mengenai pemberontakan berlatar pada abad ketiga belas dan Arus Balik, sebuah epik novel mengenai politik kelautan abad 16. 
Semua buku ini merupakan karya terbesarnya, menjelaskan asal mula revolusi Indonesia, disamping lebih dari 40 karyanya, dengan lebih dari pada setengahnya diterjemahkan kedalam lebih 50 bahasa. Karya-karya sesudahnya selalu mengingatkan bagian dari komitmennya untuk menyelesaikan revolusi Indonesi yang terus ia lanjutkan sehari setelah dibebaskan dari pejara. Sejak tahun 1979, ia terus selalu mengulanginya lagi dalam pidato dan wawancaranya untuk menyerukan generasi Indonesia yang lebih muda: revolusi belum selesai. Ia bergabung partai kecil radikal PRD untuk mempertegas komitmen politik dan bergabung kedalamnya. Ia tak pernah lelah mengatakan bahwa ‘reformasi” tidak cukup. Apa yang dibutuhkan adalah “revolusi total’. Dalam interview yang kemudian dipublikasikan, dengan judul EXILE, ia secara jelas memposisikan dirinya:
Kapitalisme dimana saja sama. Tujuannya hanyalah bagaimana menghasilkan keuntungan yan sebesar-besarnya dengan menghalalkan segala cara. Aku percaya pada hak setiap negeri untuk menentukan nasib sendiri, tetapi dalam kenyataannya, hak-ha yang demikian tidak pernah dihormati. Segalanya ditentukan oleh pengusaha besar, bahkan dalam persoalan nasib bangsa. Bisakah situasi yang demikian ini dirubah tanpa revolusi ? Tak mungkin. Harus ada revolusi.

* Indonesianis. Tinggal di Australia
Ditulis Oleh Max Lane   

 

Surat Terbuka Suzanne Weiss, Korban Holocaust yang Membela Palestina

TORONTO–Di Kanada, Holocaust Memorial Day telah ditetapkan oleh Heritage Kanada dan jatuh setiap tanggal 11 April. Salah satu korban Holocaust yang selamat, Suzanne Weiss, selalu memperingatinya dengan setengah hati: di satu sisi ia mengenang seluruh anggota keluarganya yang meregang nyawa di kamp konsentrasi Nazi itu — karena mereka berdarah Yahudi — di sisi lain ia prihatin terhadap nasib bangsa Palestina yang tak lebih buruk dari Yahudi saat itu.
Dalam banyak kesempatan, ia menyuarakan aksi protesnya atas kekejian Israel di Palestina. Ia yang kini memilih hidup di Kanada ini aktif memperjuangkan hak-hak bangsa Palestina yang menyuarakan penghentian blokade di Gaza dan segala bentuk kekerasan di wilayah ini.  Kepada media Rabble yang berbasis di Kanada, aktivis Not In Our Name: Jewish Voices Against Zionism and of the Coalition Against Israeli Apartheid itu menulis surat terbuka. Berikut ini cuplikannya:
Benar, Holocaust yang dilancarkan Hitler unik. Orang Yahudi menjadi korban pembersihan etnis dan apartheid. Di kota keluarga saya di Polandia, Piotrków, 99 persen orang Yahudi tewas. Namun bagi saya, tindakan pemerintah Israel terhadap rakyat Palestina membangkitkan kenangan mengerikan dari pengalaman keluarga saya di bawah Hitlerism: dinding tidak manusiawi, tempat pemeriksaan, penghinaan harian, pembunuhan, penyakit yang sengaja disebarkan. Tidak ada yang melarikan diri dari kenyataan bahwa Israel telah menduduki seluruh negara Palestina, dan mengambil sebagian besar lahan, sedangkan warga Palestina telah diusir, tidak berdinding, dan kehilangan hak asasi manusia dan martabat manusia.
Kanada baru-baru ini menyerang gerakan melawan apartheid Israel, mengatakan bahwa itu adalah gerakan anti-Yahudi. Ini aneh. Ketika Nelson Mandela yang menentang apartheid di Afrika Selatan, apakah ini anti-kulit putih? Tidak, Mandela mengusulkan bahwa semua Afrika Selatan, termasuk kulit putih, bergabung atas dasar demokrasi dan kesetaraan dalam membebaskan negeri ini dari penindasan rasial. Dan itulah usulan bahwa gerakan melawan apartheid Israel membuat semua penduduk Israel / Palestina.
Kami diberitahu bahwa orang-orang Yahudi Israel tidak akan pernah menerima sebuah solusi yang demokratis. Mengapa? Apakah ada sesuatu yang salah dengan gen mereka atau budaya mereka? Gagasan yang sangat tidak masuk akal – pada kenyataannya, logika adalah anti-Yahudi. Oposisi terhadap apartheid Israel didasarkan pada harapan – harapan yang didasarkan pada kemanusiaan umum penduduk wilayah Yahudi dan Palestina.
Keluarga saya dan komunitas mereka di Piotrków, Polandia, mengalami nasib yang keras di bawah Hitler. Nazi memaksa 25.000 orang Yahudi di kota itu ke dalam ghetto pertama di Polandia. Gerakan perlawanan di ghetto tidak dapat berhubungan dengan perlawanan luar. Hanya beberapa ratus orang Yahudi Piotrków yang lolos dari kematian.
Tetapi ibu dan ayah saya saat itu tinggal di Paris. Mereka aktif dalam Union des Juifs, sebuah organisasi perlawanan Yahudi terkait erat dengan partai-partai sosialis dan kelompok anti-Nazi lain. Ketika Nazi mulai mengumpulkan orang-orang Yahudi di Perancis, Union des Juifs menyembunyikan ribuan anak-anak Yahudi di antara anti-Nazi di seluruh negeri. Orangtuaku tewas. Tapi sebuah keluarga petani berani di Auvergne, dengan risiko besar, mengambil dan menyembunyikan saya. Dan itulah mengapa saya di sini hari ini.
Ada pelajaran di sini untuk kita hari ini. Hitler tampak sangat kuat pada saat itu. Tapi ia tidak bisa menghancurkan perlawanan, sebuah aliansi luas orang yang memeluk banyak agama dan banyak sudut pandang politik untuk melawannya. Kita perlu semacam aliansi dalam melawan penindasan saat ini – termasuk penindasan rakyat Palestina.
Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mendefinisikan apartheid sebagai “tindakan tidak manusiawi yang dilakukan untuk tujuan membangun dan mempertahankan dominasi oleh satu kelompok rasial orang atas kelompok ras lain orang dan sistematis menindas mereka.”
Konsep apartheid ditemukan di Amerika Utara ketika masyarakat adat yang terbatas untuk mendapatkan akses pada banyak hal terpencil di tanah yang dicuri dari mereka. Dan inilah yang saat sekarang kita temukan atas bangsa Palestina.
Pada tanggal 9 Juli 2005, 170 organisasi masyarakat sipil Palestina menyerukan boikot, divestasi dan sanksi (divestment and sanctions/BDS) terhadap lembaga-lembaga apartheid Israel. Gerakan BDS membantu untuk mengakhiri kejahatan apartheid Afrika Selatan. Sejak tahun 2005, gerakan BDS terhadap gerakan apartheid Israel telah memenangkan dukungan luas di seluruh dunia.
Nelson Mandela, pemimpin besar BDS terhadap Apartheid Afrika Selatan, mengatakan bahwa keadilan bagi rakyat Palestina adalah “masalah moral terbesar zaman ini.” Saya baru-baru ini menemukan bahwa nama saya termasuk dalam daftar website “7.000 orang Yahudi yang membenci diri sendiri.” Mengapa pendukung Yahudi di Palestina diberi label sebagai “membenci diri sendiri”? Karena orang-orang yang membuat tuduhan ini telah mendefinisikan ulang Yudaisme dalam hal kebijakan ini dan karakter dari negara Israel. Mereka melihat Yudaisme tidak lebih dari alasan untuk menindas Palestina. Mereka semua menghina agama Yahudi dan budayanya!
Adapun 7.000 pembenci diri, para kritikus perlu menambahkan beberapa angka nol terhadap total angka itu. Dalam pengalaman saya, mendukung Palestina lebih kuat pada masyarakat Yahudi dari dalam masyarakat secara keseluruhan. Dan orang-orang Yahudi Palestina bekerja bersama saudara-saudaranya sebagai komponen yang kuat dari gerakan solidaritas Palestina.
Kesadaran Holocaust adalah waktu yang tepat untuk meninjau sejarah kita sendiri, dan memunculkan rasa kemanusiaan kita. Kami, sebagai pendukung Yahudi dari Palestina, berdiri pada tradisi terbaik dari
Yudaisme. Kami menolak penindasan atas Palestina atas nama kami.
Suzanne Weiss, korban Holocaust
Sumber: rabble.ca